Surat Untuk Calon Bung Karno

Oleh: Servita Ramadhianti

            Kepada kau yang sedang berjuang, tetaplah pada tujuan awal. Seperti yang kau tegaskan pada hati nurani, “MerdekWhatsApp Image 2017-11-09 at 12.22.06a atau Mati,”. Jujur, aku ingin menjadi tangga penyadaran. Memandumu mengenal apa itu gugur terhormat. Menunjukkanmu bandit-bandit nominal, yang seharusnya tinggal di hotel prodeo. Tiada abai melayangkan restu untuk Bung Karno yang akan bergaung. Namun, ragaku sudah lenyap puluhan tahun yang lalu. Aku lenyap di situasi sama sepertimu, menyangkal penindasan sebab tak ada keadilan yang dipertuankan. Pasak kunci (baca:penguasa) tetap sentimen terhadap afirmasiku. Kau harus percaya, negerimu tidak baik-baik saja.

Aku tau, kau butuh merdeka (lagi). Umpama nafasku masih disambung,  aku enggan duduk di kursi mengatasnamakan jabatanku. Ah, perihal itu menyita durasi hidupku. Coba dengar ulasanku, beginilah potret negerimu. Aku akan berpusar di kota-kotamu, menelik pedihnya si miskin yang mengangkat batu bata setiap hari. Kuberikan uang receh pada bocah jalan pembawa kaleng rombeng yang selalu bernyanyi, dan tergambar senyumnya. Kusapa gelandangan kelaparan, kusalurkan pangan. Kutolong pemulung sampah yang memanggul plastik beraroma sengit, tak sesuai upahnya. Akan kubesuk nelayan yang lautnya diblokade oleh pipa-pipa gas perusahaan asing, kukawani gurau sang buruh pabrik yang diteror PHK. Utamanya, kurangkul calon Bung Karno berujar gusar mengenai kenaikan BBM atau proyek pendidikan yang makin sakau.  Polosnya, sang tertindas masih bisa dimainkan oleh si jas berkerah. Lihatlah, kau harus peka sekarang, mereka butuh dirimu! Perubahan datang dari dirimu.

Kalau boleh aku memilih melawan, mungkin aku sudah di samping kalian. Aku mengaung hebat kalau perjuangan bukan hanya lembar tulisan, omong kosong, buku, atau setajuk proposal! Perjuangan butuh nadi, jiwa suci, darah, dan dentuman kata-kata. Kita bukan memerangi seekor bekicot yang diinjak akan punah, tapi kita berperang melawan tabiat harimau yang berusaha menerkam ketika kita lengah.

Kalau boleh aku bergumam, setiap hari jadi sarapanku. Menonton orang-orang berdebat di media ternama atau aktivis yang melacurkan kutipan konyol sampai pagi. Kasihan aku menyaksikan orang bergelar “ES, EM, Prof” berbohong dengan ilmunya. Apakah lembaran bersama dosen pembimbing sudah dibaca ulang? Sederet angka menghipnotis si miskin agar makin hari makin berkurang, sungguh renyuh. Apalagi menyeruput tingkah sang senior (katanya) yang berebut kursi ekslusif. Kau jangan duduk di belakang meja saja! Demokrasi hadir untuk mendengar suara tertimpang. Pembual akan tertawa puas jika kau hanya bermain gadget dan membiarkan naif berkeliaran.

Wahai calon Bung Karno, aku dan teman-temanku telah menuliskan karya untuk kau cerminkan. Ketika aku masih bugar, dan keberanian untuk negeri masih ada. Jika kau memperoleh keberanian, maka kau memiliki harga diri. Sikap bermartabat yang membuatmu tidak mudah untuk dibujuk. Jangan menjadi aktivis yang dulu lantang melawan, sekarang duduk empuk bersama bandit, jangan menjadi ilmuwan yang memalsukan data kuantitatif untuk merampas si miskin. Kau harus berani mempertahankan nyalimu untuk selalu bertanya pada keadilan, kelumrahan, dan segala bentuk pidato yang disuarakan oleh para penguasa. Jangan hanya berkoar-koar tentang kesenjangan, tapi kau tak mampu berubah. Bertindaklah! Negeri butuh dirimu sekarang! Kau yang memegang sisa-sisa historis di makam pahlawan. Sekian.

 

 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *